Cukuplah aku merasakan sakit pada suatu masa dengan segala tingkahmu yang tak pernah merasa bersalah. Dengan segala komentar perempuanmu yang kemunculannya sengaja memercikkan api yang dia tau nantinya akan berkobar.
Sudah cukup aku tersiksa dengan keterpurukan menantimu. Mendengar
berbagai cerita tentang proses kedekatan kalian. Bertahun-tahun aku memendam,
mewajarkan sebuah pertemanan. Tapi ternyata tak cukup meredakan sayangku
untukmu dan mereka kawan-kawanmu yang juga kawan perempuanmu menyudutkan segala
perasaan yang aku ekspresikan. Sempat aku menyumpahi, siapapun itu semoga
merasakan apa yang akau rasakan. Tuhan lebih tau balasan apa yang pantas tanpa
aku memilihkan. Meski sempat terpikir jika mereka tak merasakan dicampakkan pada
masa muda, semoga merasakan saat mereka menikah.
Air mataku jatuh setiap hari. Menetes pada luka yang menganga. Hingga
akhirnya keluargaku membencimu dan perempuanmu. Tak hanya itu seluruh
teman-temanku beserta pasangannya masing-masing, bahkan enggan tuk berucap nama
gadismu. Kalaupun berucap pasti dengan terpaksa.
Aku cukup bahagia dengan keadaan saat itu. Aku menantikan segala keterpurukannya. Berdoa untuk deritanya dengan segala sesuatu yang mampu menjadikanku bagai iblis. Aku menjadi wanita jahat sebagaimana diceritakan disebuah sinetron yang berperan antagonis.
Aku cukup bahagia dengan keadaan saat itu. Aku menantikan segala keterpurukannya. Berdoa untuk deritanya dengan segala sesuatu yang mampu menjadikanku bagai iblis. Aku menjadi wanita jahat sebagaimana diceritakan disebuah sinetron yang berperan antagonis.
-***-
Semakin lama aku berperan dalam cerita ini. Sadarku menyeruak. Sampai
kapan aku akan menyimpan dendam. Bukankah semua telah berlalu cukup lama. Dan
sepertinya kau bahagia seperti yang digambarkan pada beberapa tulisan karya
perempuanmu. Meski terkadang ada yang tak singkron dengan keadaan.
Aku merubah keadaan sedikit demi sedikit, memang masih terlihat bekas
luka dan kecewa, namun toh sudah kering dan tak terasa sakit.
Aku tak pernah lagi merayu Tuhan tuk mengembalikanmu padaku. Meskipun
terkadang ada ungkapan-ungkapanmu yang merayu. Otoritermu yang tak merelakanku
tuk berpasangan dengan yang lain dengan menyuruhku berpisah. Dan bodohnya aku
menurutinya. Hingga berkali-kali aku berganti pasangan tanpa cinta.
Seiring berjalanya waktu, aku telah belajar melupakan. Hatiku yang mati
rasa kepadamu dan kepada siapapun, kini kubelajari tuk menerima apa yang aku
miliki. Mencoba menyayangi walaupun butuh proses lama. Aku tak ingin
berpasangan tanpa cinta seperti biasanya yang asal menerima dan senang karena
mampu menaklukkan.
Relakan aku pergi bersamanya. Jangan mencegahku. Simpan semuanya,
karena sampai kini aku tak pernah mampu melihat tangismu yang pecah dihadapanku
ketika kau berbicara.
Andaikan aku dan kau mampu berbicara tanpa air mata, ingin aku mengatakan bahwa “aku ikhlas kau bersamanya dan semoga kau bahagia”.
Andaikan aku dan kau mampu berbicara tanpa air mata, ingin aku mengatakan bahwa “aku ikhlas kau bersamanya dan semoga kau bahagia”.