Ratna oktaviana

all about me

Rabu, 22 Agustus 2012

Aku Lupa Cara Mencintaimu


22 Agustus 2012

Aku tak pernah menghitung berapa lama kita telah berpisah, karena memang aku tak pernah ingin tahu tentang itu. 
Biarkan waktu menghapus perlahan apa yang tertorehkan oleh tinta kehidupan. 
Tentangmu, tentangku, dan tentang kita.
Kau jalani saja kehidupanmu dan begitu pula dengan diriku. 
Namun ternyata semua tak seperti yang kuharapkan. 
Kau selalu saja menyempatkan diri tuk masuk kembali. 
Bersama cinta, bersama air mata. 
Maaf jika aku tak mempedulikanmu lagi.
Maaf jika aku sedikit menjauh.
Bukan karena hatiku telah tertutup, 
bukan kerena  hatiku telah beku
dan bukan pula karena aku telah menemukan penggantimu 
tapi semua karena aku telah lupa bagaimana cara mencintaimu..

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kalung untuk Ibu

Jember, 4 Agustus 2012
Kurang lebih 4 tahun yang lalu. Hari itu sangat terik, saat ku tinggalkan rumah yang kondisinya bisa dibilang jauh dari kemewahan. Meninggalkan ibu dan adikku satu-satunya. Ku pergi ke kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku di kota ini karena ibu yang menyuruhku. Beliau bilang aku harus menuntut ilmu tinggi agar nanti bisa hidupku enak.
Ingin kurubah nasib keluargaku yang sering mendapat caci maki dari orang-orang sekitar karena ibu sering berhutang. Padahal mereka tak tahu bahwa ibu berhutang untuk menghidupi kedua anaknya agar tidak kelaparan. Terlebih lagi setelah kepergian ayah yang dipanggil Tuhan saat ku masih duduk dibangku SMP, ibu semakin bekerja keras untuk menghidupi kami.

Awal ku menginjakkan kaki di kota ini, semua terasa asing. Bangunan-bangunan tinggi, rumah-rumah mewah, bising, asap polusi dan udara yang sangat panas, semua berbeda sekali dengan desaku. Namun setelah kurang lebih 3tahun aku hidup disini, semua menjadi biasa saja.

Dulu aku setiap sebulan sekali pulang tuk mengunjungi ibu dan adikku yang baru duduk dibangku Sekolah Dasar. Sekalian memberikan separuh gajiku untuk tambahan biaya hidup mereka. Meski gajiku pas-pasan karena aku hanya bekerja sebagai pelayan toko, namun masih bisa jika ku gunakan untuk biaya kuliah. Nilai kuliahku yang dibilang cukup memuaskan, tak menjamin ku terpilih menjadi orang yang layak untuk menerima beasiswa.

Sekitar setahun yang lalu, aku mulai jarang pulang. Tugas kuliahku menumpuk dan aku harus bekerja lembur untuk mencari gaji tambahan yang nanti ku gunakan untuk membelikan sebuah kalung. Kadang tersirat rasa iri pada teman-temanku, khususnya teman sekamarku. Dia terlihat sangat bahagia dengan segala kemewahan yang dia miliki. Ku mengenalnya sejak ku pindah kos  ketempat ini. Dia wanita yang cukup manis dan cukup sibuk dengan segala aktifitasnya. Dia wanita yang memiliki pasangan, bisa pergi kemana saja yang ia mau, tanpa memikirkan biaya karena memang kelurganya cukup mampu untuk membiayai. Dia baik, suka membantuku, memberiku motivasi-motivasi, dan kami saling bertukar cerita. Namun terlepas dari itu, ada hal yang tak kusuka, memang sih manusia tak ada yang sempurna. Namun ku benar-benar tak setuju dengan apa yang sering dia lakukan.

Gadis itu adalah teman sekamarku. Tentu saja aku tahu segala sesuatu yang ia lakukan. Terlebih jika ia berbohong pada orang tuanya. Ku tahu karena ia selalu membawa namaku jika meminta ijin pada kelurganya. Ia bilang akan berlibur denganku, padahal tidak. Ia hanya berdua dengan pasangannya. Dia bilang sibuk kuliah, padahal ia sering membolos untuk berpetualang tak jelas. Berulang kali ia lakukan. Menghambur-hamburkan uang untuk menikmati petualangannya tanpa memikirkan bahwa orang tuanya susah payah mencari rezeki.
Ah,  tapi itu mungkin hanya rasa iriku saja. Karena ku tak bisa seperti dia. Jangankan untuk berpetualang seperti itu, menyisihkan uang sedikit saja untuk menabung susahnya bukan main. Semua gajiku habis untuk kuliah dan biaya hidup keluargaku. Adikku kini juga sudah duduk dibangku kelas 6 SD dan tak lama lagi akan melanjutkan ke SMP, semakin banyak biaya yang akan dibutuhkan.
Sudah lama ku menabung, namun uangnya tak cukup juga. Terlebih lagi untuk membeli kalung yang ibu inginkan. Sebenarnya ibu tidak minta, hanya saja setiap kepasar dan melewati toko emas, beliau selau melirik dan tersenyum saat melihat kalung itu. Hingga akhirnya ku berpikir, ku akan membelikan kalung itu sebagai hadiah ulang tahun ibu kelak.
Uang ditabunganku sepertinya telah cukup. Aku akan segera pulang, sudah 3 bulan ku tak mengunjungi kampungku. Ku rindu ibu dan adikku satu-satunya. Jika ku pulang nanti, kua akan mengajak ibu ke pasar.
-----:-----
Sudah 3jam perjalanan, namun tak kunjung sampai. Ku sudah tidak sabar melihat senyum diwajah ibu yang semakin terlihat tua, ku juga sudah tak sabar mendengar cerita-cerita adikku yang akan beranjak remaja.
Gapura desaku telah tampak, hatiku sedikit tenang karena tak lama lagi ku akan sampai rumah. Namun tiba-tiba perasaanku tak enak, terlebih ku lihat banyak orang yang berjalan menuju rumahku. Dan ternyata benar, semua orang berdatangan. Aku panik melihat kedaan itu dan langsung berlari kedalam rumah. Ternyata ibu telah terbujur kaku. Ibu menjemput ayah tuk mengahadap Tuhan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Belum sempat ku melihat senyum itu yang biasanya dilakukan ibu untuk menyambut kedatanganku. Belum sempat ku merasakan kembali belaian rindu ibu yang selalu dilakukan setiap ku bermanja dipangkuannya. Belum sempat ku membelikan sebuah kalung yang beliau inginkan dari dulu, dan kini ibu telah pergi meninggalkanku.
 Adikku yang dari tadi menahan air mata, memandangku lekat-lekat, ada kesedihan luar biasa yang ia katakan dalam diam. Tubuhnya yang semakin kurus dan pakaiannya yang terlihat lusuh, membuatku semakin tak tega manatap mata sayunya. Ku peluk ia erat-erat. Ku tak ingin kehilangnya. Hanya dia harta paling berharga yang kini ku miliki dan akan ku arungi pahit manis kehidupan bersamanya.

Jumat, 03 Agustus 2012

Lilin Perayaan Tahun ke - 3


Tepat 3 tahun yang lalu, mengawali sebuah cerita kehidupan yang tak tahu bagaimana akhirnya nanti. Berawal dari sebuah pertemuan tak sengaja, ku mengenalmu sebagai sosok yang tak peduli.
17 Juni ’08, hujan dimalam itu menemaniku membaca sebuah pesan yang tampak dilayar ponsel, tak seperti biasa, sebuah ungkapan perasaan berupa pertanyaan yang sedikit aneh. Berhari-hari kau menanti jawabku atas pertanyaanmu. Tepat sehari sebelum keberangkatanku ke luar kota, kau datang ketempat ku menuntut ilmu. Dengan seragam berbeda kau bercerita disampingku dengan gayamu yang khas  hingga kau lontarkan lagi pertanyaan itu. ‘Ya’, tak mengerti mengapa ku jawab begitu. Tapi jawaban itu yang kurasa pantas untukmu. 24 Juni 2008 tanggal istimewa untuk kita.
Waktu terus berjalan, kau membuat ku menjalani rentetan kejadian kejadian yang tak pernah kualami sebelumnya. Kau selalu membuatku tersenyum dengan tingkah dan cerita-ceritamu, mamberi kejutan disetiap moment special, berjuang untuk meminta ijin pada ayah agar kita dapat berlibur berhari-hari, berkorban sepenuhnya untuk mendapat sebuah restu keluargaku. Kau selalu mengusap airmata jika ku tak kuasa membendungnya, selalu mendengar segala keluh kesah yang kuceritakan, selalu menjaga saat ku terbaring lemah, kau selalu ada disetiap ku membutuhkanmu (meski terkadang kau sibuk dengan ‘Alammu’). Terlalu banyak hal hingga ku memandangmu sebagai makhluk sempurna dan akhirnya melahirkan sebuah ketergantungan padamu.
Tahun berganti tahun ku lewati denganmu. Namun dengan bertambahnya tahun, tak bertambah pula kesetiaanmu. Sebuah pengkhianatan yang benar-benar menyakitkan. Tak percaya, sedih, kecewa, semua membaur jadi satu. Kau menangis dihadapanku, namun itu tak dapat menghapus luka. Hanya diam, berharap air mataku tak jatuh juga, tapi tak bisa.
Kiniku mendapatkan  penggantimu namun berujung sama. Hanya saja kali ini dibiarkan menggantung hingga akhirnya lepas, tanpa ada kepastian. Kecewa (pasti), karena merasa tak dihargai. Tapi tak terlalu kupikirkan, karena ku berpendapat mungkin itu dapat membuatnya bahagia.
Kini (rasanya) tak ingin lagi ku membuka hati. Ku hanya ingin bintangku kembali. Berharap ada lilin untuk tahun ketiga sebagai perayaan seperti tahun sebelumnya. Meski ku tahu sekalipun lilin itu ada, kau akan membiarkanku duduk sendiri menatap api kecil hingga akhirnya mati.

Kau Tak Pernah Bahagia

Sudah cukup lama ku bersabar. Berusaha tak mengusik kehidupanmu dan dirinya. Berusaha tak lagi menjadikanmu lawan tapi kawan. Berjuta usaha yang ku tempuh tuk meyakinkanmu, dia, mereka dan semua bahwa ku tak mengharap masa itu kembali. Namun semua seakan sia-sia. Setiap langkahku, setiap ucapku selalu dikaitkan dengan satu nama. Dan kau selalu menyalahkan, menyudutkan hingga akhirnya semua isi hatiku meledak.
Mengapa kau tak menyalahkan mereka. Mereka yang lebih mengenalku sebagai pasangannya ketimbang sebagai kawannya. Mereka yang selalu mengaitkan namaku disetiap langkahnya. Mereka yang selalu membuat hidupku dekat dengan kehidupannya. Mereka yang membuat ku ada disaat dia ada.
Ku telah menemukan yang lain tapi kau tetap sangkutkanku pada satu nama itu. Dan ujungnya kau lagi-lagi menyalahkanku. Sampai akhirnya ku tak mengerti bagaimana alur pikiranmu.
Kadang ku tak mengerti apa salahku. Ku mengenalmu saja tidak, tiba-tiba kau hadir dan menghancurkan. Ku marah, kau menyalahkan kemarahanku. Ku bertindak dianggap pendendam. Kini ku diam, tapi malah kau usik kembali hidupku. Apa maumu?????
Terlalu sepikah, hingga harus kau kobarkan api agar ku menemani sunyinya hidupmu. Atau kau menginginkan bersaing denganku agar keberdaanmu dianggap oleh orang-orang disekitarku.
Terlalu miris rasanya ku melihatmu. Sampai rasa iba ku muncul atas dirimu yang seperti tak pernah bahagia, seperti tak punya Tuhan. Hidupmu selalu dihantui pikiran buruk, yang selalu takut akan kekalahan., yang hanya bisa menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, yang takut akan keterpurukan.
Jika kau selalu seperti itu, SELAMAT kau akan mendapatkan gelar orang yang tak akan pernah bahagia.