Jember, 4 Agustus 2012
Kurang lebih
4 tahun yang lalu. Hari itu sangat terik, saat ku tinggalkan rumah yang
kondisinya bisa dibilang jauh dari kemewahan. Meninggalkan ibu dan adikku
satu-satunya. Ku pergi ke kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku.
Aku di kota ini karena ibu yang menyuruhku. Beliau bilang aku harus menuntut
ilmu tinggi agar nanti bisa hidupku enak.
Ingin
kurubah nasib keluargaku yang sering mendapat caci maki dari orang-orang
sekitar karena ibu sering berhutang. Padahal mereka tak tahu bahwa ibu
berhutang untuk menghidupi kedua anaknya agar tidak kelaparan. Terlebih lagi
setelah kepergian ayah yang dipanggil Tuhan saat ku masih duduk dibangku SMP,
ibu semakin bekerja keras untuk menghidupi kami.
Awal ku
menginjakkan kaki di kota ini, semua terasa asing. Bangunan-bangunan tinggi,
rumah-rumah mewah, bising, asap polusi dan udara yang sangat panas, semua
berbeda sekali dengan desaku. Namun setelah kurang lebih 3tahun aku hidup
disini, semua menjadi biasa saja.
Dulu aku
setiap sebulan sekali pulang tuk mengunjungi ibu dan adikku yang baru duduk
dibangku Sekolah Dasar. Sekalian memberikan separuh gajiku untuk tambahan biaya
hidup mereka. Meski gajiku pas-pasan karena aku hanya bekerja sebagai pelayan
toko, namun masih bisa jika ku gunakan untuk biaya kuliah. Nilai kuliahku yang
dibilang cukup memuaskan, tak menjamin ku terpilih menjadi orang yang layak
untuk menerima beasiswa.
Sekitar setahun yang lalu, aku mulai jarang pulang. Tugas
kuliahku menumpuk dan aku harus bekerja lembur untuk mencari gaji tambahan yang
nanti ku gunakan untuk membelikan sebuah kalung. Kadang tersirat rasa iri pada
teman-temanku, khususnya teman sekamarku. Dia terlihat sangat bahagia dengan
segala kemewahan yang dia miliki. Ku mengenalnya sejak ku pindah kos ketempat ini. Dia wanita yang cukup manis dan
cukup sibuk dengan segala aktifitasnya. Dia wanita yang memiliki pasangan, bisa
pergi kemana saja yang ia mau, tanpa memikirkan biaya karena memang kelurganya
cukup mampu untuk membiayai. Dia baik, suka membantuku, memberiku
motivasi-motivasi, dan kami saling bertukar cerita. Namun terlepas dari itu,
ada hal yang tak kusuka, memang sih manusia tak ada yang sempurna. Namun ku
benar-benar tak setuju dengan apa yang sering dia lakukan.
Gadis itu adalah teman sekamarku. Tentu saja aku tahu segala
sesuatu yang ia lakukan. Terlebih jika ia berbohong pada orang tuanya. Ku tahu
karena ia selalu membawa namaku jika meminta ijin pada kelurganya. Ia bilang
akan berlibur denganku, padahal tidak. Ia hanya berdua dengan pasangannya. Dia
bilang sibuk kuliah, padahal ia sering membolos untuk berpetualang tak jelas. Berulang
kali ia lakukan. Menghambur-hamburkan uang untuk menikmati petualangannya tanpa
memikirkan bahwa orang tuanya susah payah mencari rezeki.
Ah, tapi itu mungkin
hanya rasa iriku saja. Karena ku tak bisa seperti dia. Jangankan untuk
berpetualang seperti itu, menyisihkan uang sedikit saja untuk menabung susahnya
bukan main. Semua gajiku habis untuk kuliah dan biaya hidup keluargaku. Adikku kini
juga sudah duduk dibangku kelas 6 SD dan tak lama lagi akan melanjutkan ke SMP,
semakin banyak biaya yang akan dibutuhkan.
Sudah lama ku menabung, namun uangnya tak cukup juga.
Terlebih lagi untuk membeli kalung yang ibu inginkan. Sebenarnya ibu tidak
minta, hanya saja setiap kepasar dan melewati toko emas, beliau selau melirik
dan tersenyum saat melihat kalung itu. Hingga akhirnya ku berpikir, ku akan
membelikan kalung itu sebagai hadiah ulang tahun ibu kelak.
Uang ditabunganku sepertinya telah cukup. Aku akan segera
pulang, sudah 3 bulan ku tak mengunjungi kampungku. Ku rindu ibu dan adikku
satu-satunya. Jika ku pulang nanti, kua akan mengajak ibu ke pasar.
-----:-----
Sudah 3jam perjalanan, namun tak kunjung sampai. Ku sudah
tidak sabar melihat senyum diwajah ibu yang semakin terlihat tua, ku juga sudah
tak sabar mendengar cerita-cerita adikku yang akan beranjak remaja.
Gapura desaku telah tampak, hatiku sedikit tenang karena tak
lama lagi ku akan sampai rumah. Namun tiba-tiba perasaanku tak enak, terlebih
ku lihat banyak orang yang berjalan menuju rumahku. Dan ternyata benar, semua
orang berdatangan. Aku panik melihat kedaan itu dan langsung berlari kedalam
rumah. Ternyata ibu telah terbujur kaku. Ibu menjemput ayah tuk mengahadap
Tuhan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Belum sempat ku melihat senyum
itu yang biasanya dilakukan ibu untuk menyambut kedatanganku. Belum sempat ku
merasakan kembali belaian rindu ibu yang selalu dilakukan setiap ku bermanja
dipangkuannya. Belum sempat ku membelikan sebuah kalung yang beliau inginkan
dari dulu, dan kini ibu telah pergi meninggalkanku.
Adikku yang dari tadi
menahan air mata, memandangku lekat-lekat, ada kesedihan luar biasa yang ia
katakan dalam diam. Tubuhnya yang semakin kurus dan pakaiannya yang terlihat
lusuh, membuatku semakin tak tega manatap mata sayunya. Ku peluk ia erat-erat. Ku
tak ingin kehilangnya. Hanya dia harta paling berharga yang kini ku miliki dan
akan ku arungi pahit manis kehidupan bersamanya.